Jakarta, NU Online Kiai Nur Salikin, salah satu pengurus Amali (Asosiasi Ma’had Aly Indonesia) menjelaskan bahwa kini, seorang santri, terutama mahasantri dituntut untuk tidak hanya sekedar berinovasi tapi juga mampu membuat penemuan.
“(Pada prinsip) al-muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bi jadidil ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil kebiasaan baru yang lebih baik), jangan hanya sekedar jadid, tapi wal-ijad. Tidak hanya sekedar inovasi tapi discovery (penemuan),” papar Bendahara Amali itu saat menjadi pemateri seminar dalam Kongres Ketiga Dema Amali di Ma’had Aly Al-Iman, Desa Bulus, Kecamatan Gebang, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, Rabu (23/2/22). Mudir (Direktur) Ma’had Aly Sa’iidusshiddiqiyah Jakarta itu melanjutkan penjelasannya bahwa jika santri hanya berinovasi, yang terjadi adalah seperti sekarang ini yaitu Islam hanya menjadi kontrol bukan inspirasi. Misalnya tentang vaksin, saat ini Islam hanya bisa menjadi kontrol yang menyatakan haram dan tidaknya vaksin tanpa bisa membuat vaksin itu sendiri. “Kalau kita bisa membuat discovery (penemuan) tentunya akan berbeda. Jangan jadikan Islam sebagai pisau hukum sajalah, bahasanya seperti itu kira-kira,” jelas kiai kelahiran Grobogan itu.
Melanjutkan pemaparannya, Kiai Salikin menegaskan bahwa di era digitalisasi seperti sekarang ini, santri jangan hanya menjadi penikmat media, tapi juga harus bisa menyediakan sarana-sarana media. Contoh kecil, ketika membuka Facebook jangan hanya sekedar menjadi pembaca tapi kalau bisa membuat tulisan. Begitu pun juga YouTube, jangan hanya menjadi pendengar dan penonton, tapi jadilah pembuat konten itu, sehingga santri akan menjadi produsen bukan konsumen.
“Toh, tidak semua santri harus berprofesi menjadi guru atau kiai,” ungkapnya. Kiai Salikin mengatakan dirinya tidak membayangkan bagaimana sepuluh tahun ke depan. “Bagaimana massifnya digitalisasi. Jika santri, (terutama) mahasantri ini tidak melakukan perubahan yang serius dalam digitalisasi media, pasti akan tergopoh-gopoh dalam menghadapi keadaan,” tegasnya.
Pada kesempatan itu, ia juga menjelaskan bahwa santri juga akan tergopoh-gopoh oleh perkembangan masa, jika kerjaannya hanya membaca kitab tanpa mengontekstualisasikannya. Bagaimana santri bukan hanya membaca kitab dan buku, tapi harus mampu membaca situasi dan kondisi. Sebagai informasi, Kongres Ketiga Dema Amali (Dewan Mahasantri Asosiasi Ma’had Aly Indonesia) ini dilaksanakan selama tiga hari, yaitu hari Selasa sampai hari Kamis, tanggal 22-24 Februari 2022. Kongres tersebut diikuti oleh 169 peserta delegasi dari 71 Ma’had Aly se-Indonesia serta sejumlah pengurus Amali. Dema Amali merupakan forum komunikasi dan konsolidasi Dewan Mahasantri se-Indonesia yang berada di bawah naungan Asosiasi Ma’had Aly Indonesia (Amali) dan telah mendapatkan SK dari Kementerian Agama RI. Sedangkan, Amali (Asosiasi Ma’had Aly Indonesia) merupakan forum yang dibentuk dalam rangka memfasilitasi hubungan kerja sama dan menyamakan pandangan antar Ma’had Aly se-Indonesia.